BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
PENGERTIAN
SYARI’AH
Didalam
Al-Quran banyak ayat yang mengandung kata syari’ah, salah satunya dalam surah
al-Jatsiyah ayat 18 disebutkan :
Artinya : “Kemudian Kami jadikan engkau
atas perkara yang disyasariatkan, maka ikutilah syariah itu dan janganlah
engkau ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”
Dari ayat diatas dapat
disimpulkan bahwa : syariat itu dari Allah SWT, syariah itu harus diikuti,
syariah tidak memperturutkan keinginan hawa nafsu.
Syariah menurut bahasa adalah jalan yang lurus. Secara istilah
syariah diartikan sebagai ketetapan dari Allah SWT bagi hamba-hamba-Nya. Pengertian
Syariah dalam kaitannya dengan Fiqh mempunyai pengertian yang sempit yang
terbatas pada hukum-hukum yang tegas (Qot’i) yang tak dapat digugat lagi yang
berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih, atau yang ditetapkan oleh ijma. Ulama
Ushul mengatakan bahwa Syariah adalah Syariat adalah perintah Asy-Syâri‘ (Pembuat hukum) yang
berhubungan dengan perbuatan-perbuatan hamba dan berkaitan dengan ketetapan,
pilihan, atau kondisi. Syariat adalah perintah Asy-Syâri‘ (Pembuat hukum) yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf[1].
Syariah
dalam arti sempit sama pengertiannya dengan Fiqh Nabawi, yaitu hukum yang
ditunjukan dengan tegas oleh Al-Qur’an atau Hadits. Fiqh dalam arti sempit sama
pengertiannya dengan Fiqh Ijtihadi, yaitu hukum yang dihasilkan oleh ijtihad
para mujtahid.
2.2
PENGERTIAN
FIQH
Fiqh
secara bahasa adalah pemahaman. Tertera dalam Al-Quran Qs.Thoha ayat 27-28 :
Artinya :“dan lepaskanlah kekakuan dari
lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.”
Secara istilah Fiqh adalah mengetahui
hukum-hukum Syari yang bersifat amaliah ( praktis ) dengan dalil-dalilnya yang
terperinci. Fiqh menurut pengertian (istilah) kebanyakan Fuqaha mengatakan
bahwa : “Segala hukum Syara’ yang diambil dari Kitab Allah SWT. dan Sunnah
Rasul SAW. dengan jalan mendalamkan faham dan penilikan, yakni : Dengan jalan
ijtihad dan istinbath”[2]
Pada masa sahabat atau
pada abad pertama hijriah, orang yang ahli dalam Fiqh disebut Faqih atau dengan
menggunakan bentuk jama’ Fuqaha. Fuqaha ini termasuk kedalam ulama. Al-Jurjaani
menganut madzhab Hanafi dimana fiqh diartikan dengan “ilmu yang menerangkan
segala hak dan kewajiban” definisi ini menunjukan definisi Fiqh yang luas.
Al-Ghozali dari madzhab Syafe’i menyatakan bahwa Fiqh itu berarti memahami,
mengetahui, akan tetapi dalam tradisi para ulama, Fiqh diartikan dengan suatu
ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang tertentu bagi perbuatan para mukallaf,
seperti wajib, haram, mubah, sunnat, makruh. Pengertian Fiqh terus berkembang,
diawali dengan pengertian Fiqh yang menyeluruh yang meliputi ajaran agama, lalu
Fiqh diartikan dengan ilmu perbuatan mukallaf, dan arti Fiqh dipersempit lagi,
yaitu khusus hasil ijtihad para mujtahid. Fiqh adalah suatu sistem hukum yang
sangat erat kaitannya dengan agama Islam
2.3 PENGERTIAN USHUL FIQH
Ushul Fiqh berasal dari
dua kata yaitu kata ushul bentuk jamak dari ash dan Fiqh. Asl mempunyai makna
sumber atau dalil yang menjadi dasar sesuatu. Asl secara etimologi diartikan
sebagai “fondasi sesuatu”. Adapun menurut istilah ashl mempunyai beberapa arti
yaitu :
1.
Dalil, yakni landasan hukum, seperti
pernyataan ulama ushul Fiqh bahwa ashl dari wajibnya shalat lima waktu adalah
firman Allah SWT. dan Sunnah Rasul.
2.
Qa’idah yaitu dasar atau fondasi sesuatu,
seperti sabda Nabi
Muhammad SAW : ”Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi)”.
3.
Rajih, yaitu yang terkuat (dominan), seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih : ”Yang terkuat
dari (isi/kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya”. Maksudnya, yang
menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat dari perkataan
tersebut
4.
Mustashhab, yaitu memberlakukan hukum
yang ada sejak semula selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Misalnya, seseorang
yang hilang, apakah ia tetap mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatan
perkawinannya? Orang tersebut harus dinyatakan masih hidup sebelum ada berita
tentang kematiannya. Ia tetap terpelihara haknya seperti tetap mendapatkan
waris, begitu juga ikatan perkawinannya dianggap tetap.[3]
5.
Far’u (cabang)
Dari kelima pengertian ashl diatas, yang
biasa digunakan adalah dalil.[4]
Al-Ghozali menyatakan bahwa Ushul Fiqh
adalah ilmu yang membahas tentang dalil-dalil hukum syara’ dan tentang
bentuk-bentuk petunjuk dalil tadi terhadap hukum.” Fiqh sebagai disiplin ilmu mempunyai metode
tertentu dan merodologi ilmu Fiqh itu adalah ushul Fiqh. Apabila kita
mempelajari Fiqh tanpa mengetahui Ushul Fiqh , kita tidak akan tahu bagaimana
caranya mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya dan bagaimana mengembalikan
hukum Fiqh kepada sumber asalnya. Sebagai contoh di dalam ushul Fiqh terdapat
kaidah yang menyatakan bahwa “ pada asalnya kata perintah itu (amr) menunjukan
kepada hukum wajib”. Kaidah ini merupakan kaidah kulliyah yang merupakan
prinsip yang bersifat umum, yang bisa diterapkan ke dalam berbagai macam ayat
Al-Qur’an atau Hadits yang memakai kata perintah. Seperti “Dirikanlah sholat,
Keluarkanlah Zakat, Beribadahlah kepada Allah. Wahai orang-orang yang beriman
tepatilah janjimu.” Hukum yang bisa diambil dengan menggunakan kaidah tersebut
adalah Shalat itu wajib, zakat itu hukumnya wajib, Ibadah kepada Allah itu
hukumnya wajib dan menepati janji itu hukumnya wajib.
Oleh karena kaidah
tersebut merupakan prinsip yang bersifat umum, maka harus diperhatikan
kekecualiannya, misalnya pada Qs.Al-Baqarah 187
Artinya :”
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri
kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.
Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah
mengampuni kamu dan memberi ma`af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan
ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makanlah dan minumlah
kamu, sehingga kelihatan oleh mu benang yang putih dari benang yang hitam yaitu
fajar (sampai terbit fajar). Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai
(datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu
beri`tikaf [115] dalam mesjid. Itulah larangan
Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”
Meskipun disini ada kata perintah
makanlah dan minumlah, kata perintah tersebut tidak menunjukan kepada wajib.
2.4
PENGERTIAN
KAIDAH FIQHIYYAH (QAWAID FIQHIYYAH)
Kaidah-kaidah fiqih (Kaidah Fiqhiyyah) yaitu kaidah-kaidah
yang bersifat umum (kulli)yang mengelompokkan masalah-masalah fiqih terperinci
menjadi beberapa kelompok yang pula merupakan kaidah atau pedoman yang memudahkan dalam mengistinbathkan
(menyimpulkan) hukum bagi suatu masalah yaitu dengan cara menggolongkan
masalah-masalah yang serupa dengan suatu kaedah. Qawaid merupakan
bentuk jamak dari qa’idah, dalam bahasa Indonesia berarti kaidah atau rumusan
asas-asas yang menjadi hukum; aturan yang tentu; patokan; dalil. Secara
etimologi qawaid berarti dasar, asas atau fondasi.[5]Kaidah-kaidah
Fiqh mengklasifikasikan masalah-masalah menjadi beberapa kelompok dan tiap-tiap
kelompok itu merupakan kumpulan-kumpulan dari masalah-masalah yang serupa.
Sebagai contoh ada kaidah Fiqh yang berbunyi “Apa yang tidak bisa dilaksanakan
seluruhnya (dengan sempurna) jangan ditinggalkan seluruhnya”. Maksudnya adalah
apabila kita mengerjakan sesuatu yang baik dan tidak sanggup melaksanakan nya
secara keseluruhan dengan sempurna, maka sesuatu yang baik itu harus tetap
dilaksanakan sesuai dengan kemampuan yang ada.
Kaidah ini berlaku
untuk beberapa macam materi Fiqh, misalnya di dalam Fiqh Ibadah “Apabila tidak
mampu shalat wajib sambil berdiri, shalatlah sambil duduk, apabila tidak mampu
sambil duduk, shalatlah sambil berbaring”. Didalam bidang muamalah “ apabila
tidak ada saksi yang adil, pakailah saksi meskipun dinlai kurang keadilannya”.
Didalam bidang jinayah (hukum pidana Islam) “Apabila terhadap pembunuh tidak
bisa dilaksanakan hukuman mati (karena dimaafkan oleh wali terbunuh misalnya)
maka dijatuhkan kepadanya hukuman Diat, apabila diatnya dimaafkan, dikenakanlah
kepadanya hukuman Ta’zir(hukuman yang ditentukan oleh ulil amri baik macamnya
maupun jumlahnya). Didalam Fiqh siyasah “Apabila tidak sanggup menyampaikan
seluruh ajaran Islam, sampaikanlah meskipun hanya satu ayat”.
Didalam menetapkan dan
menggunakan kaidah fiqh bersifat umum, kita harus berhati-hati dan harus
memperhatikan kekecualiannya. Kaidah tersebut tidak berlaku bagi satu perbuatan
dan perbuatan itu tidak sah apabila tidak dilakukan secara sempurna. Misalnya
kita tidak bisa mengatakan, apabila tidak kuat puasa sehari penuh, puasalah
setengah hari. Puasa setengah hari hukumnya tidak sah.
Perbedaan antara kaidah
ushul Fiqh dan kaidah Fiqhiyyah sebagai berikut, kaidah ushul Fiqh adalah satu
metode yang ditempuh oleh ahli Fiqh agar benar didalam mengeluarkan hukum dari
dalilnya. Sedangkan kaidah Fiqhiyyah merupakan kaidah yang disimpulkan dari
berbagai macam aturan-aturan Fiqh dalam berbagai bidang Fiqh. Dalam mempelajari
kaidah ushul Fiqh berangkat dari dasar-dasar Fiqh atau fondasi Fiqh, sedangkan
mempelajari kaidah Fiqhiyyah berangkat dari mempelajari materi Fiqh. Kaidah
ushul Fiqh lebih bercorak pemikiran di dalam mengambil keputusan hukum,
sedangkan kaidah Fiqhiyyah lebih bercorak kearifan di dalam mengambil keputusan
hukum.
2.5
PENGERTIAN
HUKUM ISLAM
Di indonesia sudah lama
berkembang istilah hukum Islam, disamping istilah Fiqh dan Syari’ah. Pengertian
hukum Islam itu adalah hukum Fiqh muamalah dalam arti luas, yakni pengertian
manusia tentang kaidah-kaidah (norma-norma) kemasyarakatan yang bersumber
pertama pada Al-Qur’an, kedua pada Sunnah Rasul dan ketiga pada akal pikiran. Hukum Islam ialah peraturan-peraturan dan
ketentun-ketentuan yang berkenaan dengan kehidupan berdasarkan kitab al-Qur’an.[6]
Ada dua hal penting
yang harus diperhatikan dari pengertian hukum tersebut, yang pertama adalah
hukum Fiqh muamalah dalam arti yang luas, berarti Fiqh ibadah tidak masuk ke
dalam pengertian hukum Islam sebab Fiqh Muamalah dalam arti luas meliputi
hubungan manusia dengan manusia. Kedua, pengertian hukum Islam tersebut
diusahakan dalam rangak menyamakan pengertian hukum di dalam Islam dengan
pengertian hukum di dalam sistem Hukum Romawi dan sistem Hukum Adat.
Pengertian Hukum Islam
yang biasa digunakan secara luas di masyarakat adalah pengertian hukum seperti
pengertian Fiqh yang dikemukakan oleh Al-Ghazali , yaitu hukum syara yang
tertentu bagi perbuatan mukallaf, seperti wajib, haram, mubah, sunnah, makruh. Hasbi Ash-Shiddieqy
berkeberatan memakai istilah hukum Islam sebagai pengganti Fiqh Islam
dikarenakan dua alasan, yaitu pertama, kata “hukum” menurut ahli hukum Islam
mencakup segala hukum dan segala bidang. Kedua, kata “hukum” di dalam istilah
hukum Islam tidak langsung menggambarkan daya ijtihad dan daya akal untuk
memperolehnya. Hukum Islam yang luas ini mengandung arti “ keseluruhan hukum
yangh tidak dipisahkan dari kesusilaan yang dipatokkan bukan hanya kepada hak,
kewajiban dan paksaan pengokohnya, akan tetapi juga kepada lima penghukuman,
yaitu wajib, sunat, jaiz (halal), makruh dan haram. Yang memuat pengertian
pahala, dosa, pujian, celaan dan pembiaran. Penegertian hukum Islam sebenarnya
tidak jauh dari fiqh Islam, yakni seperangkat aturan yang berisi hukum-hukum
syara’ yang bersifat terperinci, yang berkaitan dengan perbuatan manusia, yang
dipahami dan digali dari sumber-sumber (al-Quran dan alHadis) dan dalil-dalil
syara’ lainnya (ijtihad).[7]
2.6 HUBUNGAN ANTARA PENGERTIAN-PENGERTIAN
SYARI’AH-FIQH-USHUL FIQH- KAIDAH FIQH- HUKUM ISLAM
Kata Syariah mempunyai
arti lain dari hukum yang suci sepenuhnya, dan mengandung nilai-nilai uluhiyah.
Sedangkan Fiqh merupakan ilmu tentang Syari’ah. Syari’ah dan Fiqh dapat
dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan karena sebagai ukuran tingkah laku
manusia baik di dalam Syari’ah maupun di dalam Fiqh adalah sama, yakni mencari
keridhaan Allah SWT. dengan jalan mentaati suatu sistem hukum. Selain itu
seorang mujtahid yang menghasilkan Fiqh, berarti mengerahkan segala
kemampuannya untuk menggali sebanyak mungkin nilai-nilai Syari’ah, karena
itulah ada hadis yang menyatakan bahwa “apabila seorang hakim berijtihad
kemudian benar hasil ijtihadnya maka dia mendapatkan dua pahala dan apabila salah
tetap mendapatkan satu pahala”. Lalu pada usaha pentarjihan terhadap beberapa
hasil ijtihad (Fiqh) yang berbeda, pada hakekatnya menilai kembali mana
diantara pendapat-pendapat ulama itu yang paling kuat dan besar bobot
nilai-nilai Syariahnya atau yang paling mendekati kepada kebenaran menurut
Syari’ah dan nilai kebenaran Syari’ah ini menurut Ibn Qayim adalah “Adil,
membawa rahmat, maslahat, dan mengandung hikmah”.
Ruang lingkup Syari’ah
dan Fiqh terus berkembang di dalam pemikiaran manusia. Pada masa pertama Islam,
ruang lingkup Syari’ah sama dengan ruang lingkup Fiqh, yaitu meliputi seluruh
ajaran Islam. Kemudian, karena perkembangan ilmu, keduanya dibatasi oleh ruang
lingkupnya hanya mengenai perbuatan manusia saja, dibedakan antara Syari’ah
(ilmu Fiqh) dari ilmu Kalam dan ilmu Tasawuf dan terakhir dibedakan antara
Syariah dan Fiqh.
Ushul Fiqh adalah
“thurukul istinbath” yaitu cara-cara yang ditempuh seorang mujtahid dalam
mengeluarkan hukum dari dalilnya, baik dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa (linguistik)
maupun dengan menggunakan kaidah-kaidah ushuliyah lainnya agar Fiqh yang
dihasilkan meraih sebanyak mungkin nilai-nilai Syari’ah. Singkatnya hubungan
anatara Ushul Fiqh dan Fiqh seperti hubungan antara ilmu Nahwu (tata bahasa
Arab) dan bahasa Arab.
Kaidah-kaidah Fiqh
muncul setelah adanya Fiqh dan merupakan prinsip-prinsip umum yang disimpulkan
oleh ulama dari aturan-aturan Fiqh, karena Kaidah Fiqh ini termasuk prinsip
umum Fiqh, maka sering pula pada akhirnya digunakan untuk pedoman di dalam penarikan
hukum.
Jadi secara sederhana
urutannya sebagai berikut : Sumber hukum, Ushul Fiqh sebagai metodologi,
menghasilkan Fiqh, yang banyak sekali macamnya, kemudian disimpulkan
prinsip-prinsip umum menjadi kaidah-kaidah Fiqh. Akhirnya kaidah Fiqh sebaghai
lambang kearifan Fiqh mendampingin Ushul Fiqh sebagai cara berfikir hukum di
dalam Fiqh untuk memecahkan masalah-masalah baru yang timbul. Ini semua mengisi
terminologi Hukum Islam, baik pengertian hukum Islam dalam arti sempit maupun
arti luas.
Dari semua pengertian
tersebut diatas bisa digambarkan sebagai berikut, Allah SWT. menurunkan
Syari’ah agar manusia merasakan rahmat-Nya dan keadilan-Nya, hidup maslahat dan
mempunyai makna, bahagia dunia dan akhirat. Untuk mengaktualisasikannya
Syari’ah, di dalam kenyataan hidup digunakan Ushul Fiqh dan kaidah-kaidah Fiqh.
Di dalam Fiqh sikap dan perbuatan manusia diukur dengan “Al-Ahkam
Al-Khamsah”(wajib, haram, sunah, makruh, mubah). Kesemuanya itu diwarnai oleh
rasa keindahan, tidak kaku dan gersang. Dengan semua itu dibangun sistem hukum
Islam dalam arti yang sangat luas.
Syariah yang
dimaksudkan disini adalah artinya yang sangat luas, yaitu meliputi akidah,
akhlak dan hukum-hukum. Adapaun yang dimaksud dengan Fiqh adalah Fiqh yang
dalam arti luas yaitu hukum-hukum baik hasil ijtihad (Fiqh Ijtihad) maupun
bukan hasil ijtihad (Fiqh Nabawi). Istilah hukum Islam yang dimaksud adalah
hukum Islam dalam arti yang luas.
BAB
III
KESIMPULAN
3.1 KESIMPULAN
Fiqh
dan hukum Islam menunjuk pada pengertian yang sama, yakni ketentuan-ketentuan
hukum Islam itu sendiri. Pada satu sisi, syariah fiqh dan hukum Islam memiliki
persamaan yaitu, sama-sama membahas hukum Islam yang bersifat amaliyyah
(perbuatan manusia), tapi terdapat perbedaan yaitu: syariah menunjuk pnegertian
redaksi atau teks-teks firman Allah dan hadis Nabi yang berbicara tentang hukum
Islam, Fiqh dan hukum Islam adalah materi hukum Islam yang dipahami dan digali
dari redaksi/teks firman Allah dan Hadis Nabi tersebut (maksudnya, Syariah
adalah sumber hukum Islam, sedang fiqh dan hukum Islam merupakan produk
syariah). Kaidah fiqh merupakan kaidah yang berisi sekumpulan materi ketentuan
fiqh/ hukum-hukum Islam yang sejenis, karena ada persamaan illat di antara
ketentuan fiqh/hukum Islam tersebut.
Adapun
Ushul fiqh, ia hanyalah alat atau metodologi untuk menggali fiqh/hukum Islam
dari syariah yang berupa firman Allah dan hadis Nabi. Bila ilmu ushul fiqh
dihubungkan dengan syaraiah, ilmu fiqh/hukum Islam dan kaidah fiqh, maka secara
sederhana dapat dijelaskan,jika diibaratkan dalam suatu proses produksi, maka
syaraiah adalah bahan bakunya, sedang ushul fiqh adalah mesim produksinya,
sementara fiqh/ hukum Islam adalah barang hasil produksi tersebut. Adapun
kaidah fiqh adalah kumpulan atau paket-paket kemasan dari hasil produksi. Dalam
hal ini hukum Islam yang dikelompokkan menurut jenis dan kesamaan
BAB
IV
DAFTAR
PUSTAKA
M.Hasbi
ash Shiddieqy.Prof, “Hukum-Hukum Fiqh Islam”,Cetakan keenam, Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1970
Rachmat
Syafe’i.Prof, “Ilmu Ushul Fiqh”, Cetakan keenam, Bandung : CV PUSTAKA
SETIA,2010
Djazuli.H.A,
“ilmu fiqh (sebuah pengantar)”, Bandung : PD.Percetakan Orba Shakti Bandung,
1991
[1] http://ikadaonline.wordpress.com/2012/03/27/pengertian-syariah-fikih-hukum-islam-qawaid-fiqhiyyah-qawaid-usuliyyah/
[2] M.Hasbi
ash Shiddieqy,Prof. “Hukum-Hukum Fiqh Islam”. Cetakan keenam. 1970. Jakarta: PT
Bulan Bintang. Hal.1
[4] Rachmat Syafe’i. “Ilmu Ushul
Fiqh”. CV PUSTAKA SETIA,Bandung,2010, cetakan ke 6,hal 17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar