Jumat, 07 Juni 2013

makalah syariah



BAB II
PEMBAHASAN

2.1    PENGERTIAN SYARI’AH
Didalam Al-Quran banyak ayat yang mengandung kata syari’ah, salah satunya dalam surah al-Jatsiyah ayat 18 disebutkan :


Artinya : “Kemudian Kami jadikan engkau atas perkara yang disyasariatkan, maka ikutilah syariah itu dan janganlah engkau ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”
Dari ayat diatas dapat disimpulkan bahwa : syariat itu dari Allah SWT, syariah itu harus diikuti, syariah tidak memperturutkan keinginan hawa nafsu.
       Syariah menurut bahasa adalah jalan yang lurus. Secara istilah syariah diartikan sebagai ketetapan dari Allah SWT bagi hamba-hamba-Nya. Pengertian Syariah dalam kaitannya dengan Fiqh mempunyai pengertian yang sempit yang terbatas pada hukum-hukum yang tegas (Qot’i) yang tak dapat digugat lagi yang berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih, atau yang ditetapkan oleh ijma. Ulama Ushul mengatakan bahwa Syariah adalah Syariat adalah perintah Asy-Syâri‘ (Pembuat hukum) yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan hamba dan berkaitan dengan ketetapan, pilihan, atau kondisi. Syariat adalah perintah Asy-Syâri‘ (Pembuat hukum) yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf[1]. Syariah dalam arti sempit sama pengertiannya dengan Fiqh Nabawi, yaitu hukum yang ditunjukan dengan tegas oleh Al-Qur’an atau Hadits. Fiqh dalam arti sempit sama pengertiannya dengan Fiqh Ijtihadi, yaitu hukum yang dihasilkan oleh ijtihad para mujtahid.
2.2    PENGERTIAN FIQH
Fiqh secara bahasa adalah pemahaman. Tertera dalam Al-Quran Qs.Thoha ayat 27-28 :

Artinya :“dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.”
Secara istilah Fiqh adalah mengetahui hukum-hukum Syari yang bersifat amaliah ( praktis ) dengan dalil-dalilnya yang terperinci. Fiqh menurut pengertian (istilah) kebanyakan Fuqaha mengatakan bahwa : “Segala hukum Syara’ yang diambil dari Kitab Allah SWT. dan Sunnah Rasul SAW. dengan jalan mendalamkan faham dan penilikan, yakni : Dengan jalan ijtihad dan istinbath”[2]
Pada masa sahabat atau pada abad pertama hijriah, orang yang ahli dalam Fiqh disebut Faqih atau dengan menggunakan bentuk jama’ Fuqaha. Fuqaha ini termasuk kedalam ulama. Al-Jurjaani menganut madzhab Hanafi dimana fiqh diartikan dengan “ilmu yang menerangkan segala hak dan kewajiban” definisi ini menunjukan definisi Fiqh yang luas. Al-Ghozali dari madzhab Syafe’i menyatakan bahwa Fiqh itu berarti memahami, mengetahui, akan tetapi dalam tradisi para ulama, Fiqh diartikan dengan suatu ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang tertentu bagi perbuatan para mukallaf, seperti wajib, haram, mubah, sunnat, makruh. Pengertian Fiqh terus berkembang, diawali dengan pengertian Fiqh yang menyeluruh yang meliputi ajaran agama, lalu Fiqh diartikan dengan ilmu perbuatan mukallaf, dan arti Fiqh dipersempit lagi, yaitu khusus hasil ijtihad para mujtahid. Fiqh adalah suatu sistem hukum yang sangat erat kaitannya dengan agama Islam

2.3  PENGERTIAN USHUL FIQH
Ushul Fiqh berasal dari dua kata yaitu kata ushul bentuk jamak dari ash dan Fiqh. Asl mempunyai makna sumber atau dalil yang menjadi dasar sesuatu. Asl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu”. Adapun menurut istilah ashl mempunyai beberapa arti yaitu :
1.      Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan ulama ushul Fiqh bahwa ashl dari wajibnya shalat lima waktu adalah firman Allah SWT. dan Sunnah Rasul.
2.      Qa’idah yaitu dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda Nabi Muhammad SAW : ”Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi)”.
3.      Rajih, yaitu yang terkuat (dominan), seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih : ”Yang terkuat dari (isi/kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya”. Maksudnya, yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat dari perkataan tersebut
4.      Mustashhab, yaitu memberlakukan hukum yang ada sejak semula selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang hilang, apakah ia tetap mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatan perkawinannya? Orang tersebut harus dinyatakan masih hidup sebelum ada berita tentang kematiannya. Ia tetap terpelihara haknya seperti tetap mendapatkan waris, begitu juga ikatan perkawinannya dianggap tetap.[3]
5.      Far’u (cabang)
Dari kelima pengertian ashl diatas, yang biasa digunakan adalah dalil.[4]
Al-Ghozali menyatakan bahwa Ushul Fiqh adalah ilmu yang membahas tentang dalil-dalil hukum syara’ dan tentang bentuk-bentuk petunjuk dalil tadi terhadap hukum.”  Fiqh sebagai disiplin ilmu mempunyai metode tertentu dan merodologi ilmu Fiqh itu adalah ushul Fiqh. Apabila kita mempelajari Fiqh tanpa mengetahui Ushul Fiqh , kita tidak akan tahu bagaimana caranya mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya dan bagaimana mengembalikan hukum Fiqh kepada sumber asalnya. Sebagai contoh di dalam ushul Fiqh terdapat kaidah yang menyatakan bahwa “ pada asalnya kata perintah itu (amr) menunjukan kepada hukum wajib”. Kaidah ini merupakan kaidah kulliyah yang merupakan prinsip yang bersifat umum, yang bisa diterapkan ke dalam berbagai macam ayat Al-Qur’an atau Hadits yang memakai kata perintah. Seperti “Dirikanlah sholat, Keluarkanlah Zakat, Beribadahlah kepada Allah. Wahai orang-orang yang beriman tepatilah janjimu.” Hukum yang bisa diambil dengan menggunakan kaidah tersebut adalah Shalat itu wajib, zakat itu hukumnya wajib, Ibadah kepada Allah itu hukumnya wajib dan menepati janji itu hukumnya wajib.
Oleh karena kaidah tersebut merupakan prinsip yang bersifat umum, maka harus diperhatikan kekecualiannya, misalnya pada Qs.Al-Baqarah 187
Artinya :” Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma`af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makanlah dan minumlah kamu, sehingga kelihatan oleh mu benang yang putih dari benang yang hitam yaitu fajar (sampai terbit fajar). Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf [115] dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”
Meskipun disini ada kata perintah makanlah dan minumlah, kata perintah tersebut tidak menunjukan kepada wajib.

2.4 PENGERTIAN KAIDAH FIQHIYYAH (QAWAID FIQHIYYAH)
Kaidah-kaidah fiqih (Kaidah Fiqhiyyah) yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum (kulli)yang mengelompokkan masalah-masalah fiqih terperinci menjadi beberapa kelompok yang pula merupakan kaidah atau pedoman yang memudahkan dalam mengistinbathkan (menyimpulkan) hukum bagi suatu masalah yaitu dengan cara menggolongkan masalah-masalah yang serupa dengan suatu kaedah. Qawaid merupakan bentuk jamak dari qa’idah, dalam bahasa Indonesia berarti kaidah atau rumusan asas-asas yang menjadi hukum; aturan yang tentu; patokan; dalil. Secara etimologi qawaid berarti dasar, asas atau fondasi.[5]Kaidah-kaidah Fiqh mengklasifikasikan masalah-masalah menjadi beberapa kelompok dan tiap-tiap kelompok itu merupakan kumpulan-kumpulan dari masalah-masalah yang serupa. Sebagai contoh ada kaidah Fiqh yang berbunyi “Apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya (dengan sempurna) jangan ditinggalkan seluruhnya”. Maksudnya adalah apabila kita mengerjakan sesuatu yang baik dan tidak sanggup melaksanakan nya secara keseluruhan dengan sempurna, maka sesuatu yang baik itu harus tetap dilaksanakan sesuai dengan kemampuan yang ada.
Kaidah ini berlaku untuk beberapa macam materi Fiqh, misalnya di dalam Fiqh Ibadah “Apabila tidak mampu shalat wajib sambil berdiri, shalatlah sambil duduk, apabila tidak mampu sambil duduk, shalatlah sambil berbaring”. Didalam bidang muamalah “ apabila tidak ada saksi yang adil, pakailah saksi meskipun dinlai kurang keadilannya”. Didalam bidang jinayah (hukum pidana Islam) “Apabila terhadap pembunuh tidak bisa dilaksanakan hukuman mati (karena dimaafkan oleh wali terbunuh misalnya) maka dijatuhkan kepadanya hukuman Diat, apabila diatnya dimaafkan, dikenakanlah kepadanya hukuman Ta’zir(hukuman yang ditentukan oleh ulil amri baik macamnya maupun jumlahnya). Didalam Fiqh siyasah “Apabila tidak sanggup menyampaikan seluruh ajaran Islam, sampaikanlah meskipun hanya satu ayat”.
Didalam menetapkan dan menggunakan kaidah fiqh bersifat umum, kita harus berhati-hati dan harus memperhatikan kekecualiannya. Kaidah tersebut tidak berlaku bagi satu perbuatan dan perbuatan itu tidak sah apabila tidak dilakukan secara sempurna. Misalnya kita tidak bisa mengatakan, apabila tidak kuat puasa sehari penuh, puasalah setengah hari. Puasa setengah hari hukumnya tidak sah.
Perbedaan antara kaidah ushul Fiqh dan kaidah Fiqhiyyah sebagai berikut, kaidah ushul Fiqh adalah satu metode yang ditempuh oleh ahli Fiqh agar benar didalam mengeluarkan hukum dari dalilnya. Sedangkan kaidah Fiqhiyyah merupakan kaidah yang disimpulkan dari berbagai macam aturan-aturan Fiqh dalam berbagai bidang Fiqh. Dalam mempelajari kaidah ushul Fiqh berangkat dari dasar-dasar Fiqh atau fondasi Fiqh, sedangkan mempelajari kaidah Fiqhiyyah berangkat dari mempelajari materi Fiqh. Kaidah ushul Fiqh lebih bercorak pemikiran di dalam mengambil keputusan hukum, sedangkan kaidah Fiqhiyyah lebih bercorak kearifan di dalam mengambil keputusan hukum.

2.5    PENGERTIAN HUKUM ISLAM
Di indonesia sudah lama berkembang istilah hukum Islam, disamping istilah Fiqh dan Syari’ah. Pengertian hukum Islam itu adalah hukum Fiqh muamalah dalam arti luas, yakni pengertian manusia tentang kaidah-kaidah (norma-norma) kemasyarakatan yang bersumber pertama pada Al-Qur’an, kedua pada Sunnah Rasul dan ketiga pada akal pikiran. Hukum Islam ialah peraturan-peraturan dan ketentun-ketentuan yang berkenaan dengan kehidupan berdasarkan kitab al-Qur’an.[6]
Ada dua hal penting yang harus diperhatikan dari pengertian hukum tersebut, yang pertama adalah hukum Fiqh muamalah dalam arti yang luas, berarti Fiqh ibadah tidak masuk ke dalam pengertian hukum Islam sebab Fiqh Muamalah dalam arti luas meliputi hubungan manusia dengan manusia. Kedua, pengertian hukum Islam tersebut diusahakan dalam rangak menyamakan pengertian hukum di dalam Islam dengan pengertian hukum di dalam sistem Hukum Romawi dan sistem Hukum Adat.
Pengertian Hukum Islam yang biasa digunakan secara luas di masyarakat adalah pengertian hukum seperti pengertian Fiqh yang dikemukakan oleh Al-Ghazali , yaitu hukum syara yang tertentu bagi perbuatan mukallaf, seperti wajib, haram,  mubah, sunnah, makruh. Hasbi Ash-Shiddieqy berkeberatan memakai istilah hukum Islam sebagai pengganti Fiqh Islam dikarenakan dua alasan, yaitu pertama, kata “hukum” menurut ahli hukum Islam mencakup segala hukum dan segala bidang. Kedua, kata “hukum” di dalam istilah hukum Islam tidak langsung menggambarkan daya ijtihad dan daya akal untuk memperolehnya. Hukum Islam yang luas ini mengandung arti “ keseluruhan hukum yangh tidak dipisahkan dari kesusilaan yang dipatokkan bukan hanya kepada hak, kewajiban dan paksaan pengokohnya, akan tetapi juga kepada lima penghukuman, yaitu wajib, sunat, jaiz (halal), makruh dan haram. Yang memuat pengertian pahala, dosa, pujian, celaan dan pembiaran. Penegertian hukum Islam sebenarnya tidak jauh dari fiqh Islam, yakni seperangkat aturan yang berisi hukum-hukum syara’ yang bersifat terperinci, yang berkaitan dengan perbuatan manusia, yang dipahami dan digali dari sumber-sumber (al-Quran dan alHadis) dan dalil-dalil syara’ lainnya (ijtihad).[7]

2.6  HUBUNGAN ANTARA PENGERTIAN-PENGERTIAN SYARI’AH-FIQH-USHUL FIQH- KAIDAH FIQH- HUKUM ISLAM
Kata Syariah mempunyai arti lain dari hukum yang suci sepenuhnya, dan mengandung nilai-nilai uluhiyah. Sedangkan Fiqh merupakan ilmu tentang Syari’ah. Syari’ah dan Fiqh dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan karena sebagai ukuran tingkah laku manusia baik di dalam Syari’ah maupun di dalam Fiqh adalah sama, yakni mencari keridhaan Allah SWT. dengan jalan mentaati suatu sistem hukum. Selain itu seorang mujtahid yang menghasilkan Fiqh, berarti mengerahkan segala kemampuannya untuk menggali sebanyak mungkin nilai-nilai Syari’ah, karena itulah ada hadis yang menyatakan bahwa “apabila seorang hakim berijtihad kemudian benar hasil ijtihadnya maka dia mendapatkan dua pahala dan apabila salah tetap mendapatkan satu pahala”. Lalu pada usaha pentarjihan terhadap beberapa hasil ijtihad (Fiqh) yang berbeda, pada hakekatnya menilai kembali mana diantara pendapat-pendapat ulama itu yang paling kuat dan besar bobot nilai-nilai Syariahnya atau yang paling mendekati kepada kebenaran menurut Syari’ah dan nilai kebenaran Syari’ah ini menurut Ibn Qayim adalah “Adil, membawa rahmat, maslahat, dan mengandung hikmah”.
Ruang lingkup Syari’ah dan Fiqh terus berkembang di dalam pemikiaran manusia. Pada masa pertama Islam, ruang lingkup Syari’ah sama dengan ruang lingkup Fiqh, yaitu meliputi seluruh ajaran Islam. Kemudian, karena perkembangan ilmu, keduanya dibatasi oleh ruang lingkupnya hanya mengenai perbuatan manusia saja, dibedakan antara Syari’ah (ilmu Fiqh) dari ilmu Kalam dan ilmu Tasawuf dan terakhir dibedakan antara Syariah dan Fiqh.
Ushul Fiqh adalah “thurukul istinbath” yaitu cara-cara yang ditempuh seorang mujtahid dalam mengeluarkan hukum dari dalilnya, baik dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa (linguistik) maupun dengan menggunakan kaidah-kaidah ushuliyah lainnya agar Fiqh yang dihasilkan meraih sebanyak mungkin nilai-nilai Syari’ah. Singkatnya hubungan anatara Ushul Fiqh dan Fiqh seperti hubungan antara ilmu Nahwu (tata bahasa Arab) dan bahasa Arab.
Kaidah-kaidah Fiqh muncul setelah adanya Fiqh dan merupakan prinsip-prinsip umum yang disimpulkan oleh ulama dari aturan-aturan Fiqh, karena Kaidah Fiqh ini termasuk prinsip umum Fiqh, maka sering pula pada akhirnya digunakan untuk pedoman di dalam penarikan hukum.
Jadi secara sederhana urutannya sebagai berikut : Sumber hukum, Ushul Fiqh sebagai metodologi, menghasilkan Fiqh, yang banyak sekali macamnya, kemudian disimpulkan prinsip-prinsip umum menjadi kaidah-kaidah Fiqh. Akhirnya kaidah Fiqh sebaghai lambang kearifan Fiqh mendampingin Ushul Fiqh sebagai cara berfikir hukum di dalam Fiqh untuk memecahkan masalah-masalah baru yang timbul. Ini semua mengisi terminologi Hukum Islam, baik pengertian hukum Islam dalam arti sempit maupun arti luas.
Dari semua pengertian tersebut diatas bisa digambarkan sebagai berikut, Allah SWT. menurunkan Syari’ah agar manusia merasakan rahmat-Nya dan keadilan-Nya, hidup maslahat dan mempunyai makna, bahagia dunia dan akhirat. Untuk mengaktualisasikannya Syari’ah, di dalam kenyataan hidup digunakan Ushul Fiqh dan kaidah-kaidah Fiqh. Di dalam Fiqh sikap dan perbuatan manusia diukur dengan “Al-Ahkam Al-Khamsah”(wajib, haram, sunah, makruh, mubah). Kesemuanya itu diwarnai oleh rasa keindahan, tidak kaku dan gersang. Dengan semua itu dibangun sistem hukum Islam dalam arti yang sangat luas.
Syariah yang dimaksudkan disini adalah artinya yang sangat luas, yaitu meliputi akidah, akhlak dan hukum-hukum. Adapaun yang dimaksud dengan Fiqh adalah Fiqh yang dalam arti luas yaitu hukum-hukum baik hasil ijtihad (Fiqh Ijtihad) maupun bukan hasil ijtihad (Fiqh Nabawi). Istilah hukum Islam yang dimaksud adalah hukum Islam dalam arti yang luas.




















BAB III
KESIMPULAN

3.1  KESIMPULAN
Fiqh dan hukum Islam menunjuk pada pengertian yang sama, yakni ketentuan-ketentuan hukum Islam itu sendiri. Pada satu sisi, syariah fiqh dan hukum Islam memiliki persamaan yaitu, sama-sama membahas hukum Islam yang bersifat amaliyyah (perbuatan manusia), tapi terdapat perbedaan yaitu: syariah menunjuk pnegertian redaksi atau teks-teks firman Allah dan hadis Nabi yang berbicara tentang hukum Islam, Fiqh dan hukum Islam adalah materi hukum Islam yang dipahami dan digali dari redaksi/teks firman Allah dan Hadis Nabi tersebut (maksudnya, Syariah adalah sumber hukum Islam, sedang fiqh dan hukum Islam merupakan produk syariah). Kaidah fiqh merupakan kaidah yang berisi sekumpulan materi ketentuan fiqh/ hukum-hukum Islam yang sejenis, karena ada persamaan illat di antara ketentuan fiqh/hukum Islam tersebut.
Adapun Ushul fiqh, ia hanyalah alat atau metodologi untuk menggali fiqh/hukum Islam dari syariah yang berupa firman Allah dan hadis Nabi. Bila ilmu ushul fiqh dihubungkan dengan syaraiah, ilmu fiqh/hukum Islam dan kaidah fiqh, maka secara sederhana dapat dijelaskan,jika diibaratkan dalam suatu proses produksi, maka syaraiah adalah bahan bakunya, sedang ushul fiqh adalah mesim produksinya, sementara fiqh/ hukum Islam adalah barang hasil produksi tersebut. Adapun kaidah fiqh adalah kumpulan atau paket-paket kemasan dari hasil produksi. Dalam hal ini hukum Islam yang dikelompokkan menurut jenis dan kesamaan









BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

M.Hasbi ash Shiddieqy.Prof, “Hukum-Hukum Fiqh Islam”,Cetakan keenam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1970
Rachmat Syafe’i.Prof, “Ilmu Ushul Fiqh”, Cetakan keenam, Bandung : CV PUSTAKA SETIA,2010
Djazuli.H.A, “ilmu fiqh (sebuah pengantar)”, Bandung : PD.Percetakan Orba Shakti Bandung, 1991






Tidak ada komentar:

Posting Komentar