hukum taklifi
Oleh: Sri Nurul Mulyanah
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Hukum
syara' merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul fiqh. Sasaran kedua
disiplin ilmu ini memang mengetahui hukum syara' yang berhubungan dengan
perbuatan orang mukallaf. Meskipun dengan tinjauan yang berbeda, Ushul fiqh
meninjau hukum syara' dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu
fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara', yakni ketetapan Allah
yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf. Dari pada itu, lewat
makalah ini kami akan mencoba membahas tentang hukum syara' yang berhubungan
dengan hukum taklifi. Semoga makalah ini dapat membantu pembaca dalam proses
pemahaman dalam mempelajari ilmu Ushul fiqh, khususnya terhadap Hukum taklifi.
1.2. Identifikasi Masalah
1. Apa pengertian dari
hukum taklifi ?
2. Sebutkan bentuk-bentuk
dari hukum taklifi ?
1.3. Tujuan Penulisan
1. Memahami tentang
pengertian dari hukum taklifi.
2. Menjelaskan tentang
bentuk-bentuk hukum taklifi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Hukum Taklifi
Hukum Taklifi menurut
para ahli Ushul Fiqh adalah, ketentuan-ketentuan Allah yang berhubungan
langsung dengan perbuatan orang mukallaf, baik perintah, anjuran untuk
melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk memberi
kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak berbuat1.
Hukum Taklifi
adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan
sesuatu atau memilih antara berbuat dan
meninggalkan2. Sedangkan menurut Chaerul Uman dkk, bahwa
hukum Taklifi adalah khitab/ firman Allah yang berhubungan dengan segala
perbuatan para mukallaf, baik atas dasar iqtidha’ atau atas dasar takhyir3.
Hukum Taklifi
adalah ketentuan Allah yang bersifat perintah, larangan atau pilihan antara
perintah dan larangan. Hukum Taklifi dalam berbagai macamnya selalu berada
dalam batas kemampuan seorang mukallaf, yang merupakan aktifitas manusia.
Contoh, seperti
firman Allah SWT. Yang bersifat menuntut untuk melakukan sesuatu
perbuatan:
Artinya: “Dan dirikanlah Shalat, tunaikan zakat dan taatilah rasul supaya kamu
diberi rahmat”. (QS. An-Nur: 56)4.
Contoh firman Allah SWT. yang bersifat menuntut meninggalkan perbuatan.
Artinya : “ Janganlah kamu memakan harta diantara kamu
dengan jalan batil.” (QS. Al-Baqarah : 188).
1. H.Satria
Efendi, M.Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2009), hlm 41
2. Rachmat Syaf’I,
Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : CVPustaka Setia 2009), hlm 296
3. Chairul Uman,
Ushul Fiqh 1,(Bandung: CV Pustaka Setia 1998), hlm 261
4. Rachmat Syaf’I,
Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : CVPustaka Setia 2009), hlm 296
2.2 Bentuk-bentuk Hukum Taklifi
Terdapat dua golongan ulama dalam
menjelaskan bentuk-bentuk hukum taklifi. Pertama, menurut jumhur ulama Ushul
Fiqh. Menurut mereka bentuk-bentuk hukum tersebut ada lima macam, yaitu ijab,
nadb, ibahah, karahan, dan tahrin. Kedua, bentuk-bentuk hukum taklifi seperti
iftirab, ijab, nabd, ibahah, karahah tanzhiliyah, karahah tahrimiyyah, dan
tahrim.
1.
Ijab (mewajibkan)
Ijab
yaitu ayat atau hadits dalam bentuk perintah yang mengharuskan untuk melakukan
suatu perbuatan. Misalnya, ayat yang mengharuskan untuk shalat. Atau dengan
perkataan lain, Ijab adalah sesuatu yang berahala jika dilaksanakan dan berdosa
jika ditinggalkan. Seperti firman Allah:
Arinya:
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikalah
zakat….”. (QS. An-Nur: 56).
Dalam ayat
ini, Allah menggunakan lafazh amr, yang menurut para ahli Ushul Fiqh
melahirkan ijab, yaitu kewajiban
mendirikan shalat dan membayar zakat. Apabila kewajiban ini dikaitkan dengan
perbuatan orang mukallaf, maka disebut dengan wujub, sedangkan perbuatan yang
dituntut itu ( yaitu mendirikan shalat dan membayar zakat), disebut dengan
wajib.
Para
ulama’ Ushul Fiqh mengemukakan bahwa hokum wajib (ijab) dibagi dari berbagai
segi, yaitu:
Hukum
Wajib dilihat dari segi waktunya, wajib dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Wajib Muthlaq
Wajib Muthlaq yaitu sesuatu yang dituntut
syar’i untuk dilaksanakan oleh mukallaf tanpa ditentukan waktunya. Mislanya,
kewajiban membayar kafarat sebagai hukuman bagi orang yang melanggar sumpahnya.
2. Wajib
Muwaqqat
Wajib Muwaqqat yaitu kewajiban yang harus
dilaksanakan orang mukallaf pada waktu-waktu tertentu, seperti shalat dan puasa
Ramadhan. Shalat wajib dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu. Demikian halnya
puasa Ramadhan, sehingga apabila belum masuk waktunya, kewajiban itu belum ada.
Kemudian wajib Muwaqqat dibagi lagi menjadi tiga macam, yaitu:
a. Wajib Muwassa’
(kewajiban yang mempunyai batas waktu lapang)
Wajib Muwassa’ yaitu waktu yang tersedia untuk
melaksanakan perbuatan yang diwajibkan itu lebih luas dari pada waktu
mengerjakan kewajiban itu. Umpamanya, waktu shalat Isya’ lebih luas dari pada
waktu mengerjakan shalat Subuh.
b. Wajib Mudhayyaq
(kewajiban yang memunyai batas waktu sempit)
Wajib Mudhayyaq yaitu kewajiban yang waktunya
secara khusus diperuntukkan bagi suatu amalan, dan waktunya itu tidak bisa
digunakan untuk kewajiban lain yang sejenis. Maksudnya, waktu yang tersedia
persis sama dengan waktu mengerjakan kewajiban itu, seperti puasa bulan
Ramadhan.
c. Wajib Dzu
Asy-Syibhaini
Wajib Dzu Asy- Syibhaini yaitu kewajiban yang
mempunyai waktu yang lapang, tetapi tidak bisa digunakan untuk melakukan amalan
sejenis secara berulang-ulang. Misalnya, waktu haji itu cukup lapang dan
seseorang bisa melaksankan beberapa amalan haji pada waktu itu berkali-kali,
tetapi yang diperhitungkan syara’ hanya satu saja. Akan tetapi ulama’
syafi’iyyah berpendapat bahwa untuk ibadah haji, termasuk dalam wajib muthlaq,
karena seseorang boleh melaksanakannya kapanpun ia mau selama hidupnya. Juga dalam pembahasan wajib Muwaqqat, ulama’
syafi’iyyah mengemukakan tentang persoalan ‘Ada’, I’adah dan Qadha.
‘Ada’ menurut Ibnu Hajib adalah
melaksanakan suatu amalan untuk pertamakalinya pada waktu yang diitentukan
syara’.
I’adah adalah suautu amalan yang diekrjakan
untuk kedua kalinya untuk waktu yang telah ditentukan, karena amalan yang
dikerjakan pertama kali tidak sah atau mengandung uzur.
Qadha’ adalah suatu amalan yang dikerjakan
dluar waktu yang telah ditentukan dan
sifatnya sebagai pengganti. Seperti puasa ramadhan tidak bisa dikerjakan oleh
wanita yang haid pada bulan ramadhan itu, tetapi harus menggantinya pada waktu
lainnya.
Chaerul Uman, dkk
menjelaskan pembagian wajib dari segi waktunya menjadi dua, yaitu:
a.
Wajib ‘Alal Far’i
Apabila telah tercapai semua syarat,
wajib segera dilaksanakan tanpa menunda. Seperti, melaksanakan zakat wajib
segera dikueluarkan apabila haul dan nisab sudah terpenuhi.
b.
Wajib ‘Alat Tarakhi
Pelaksanaan kewajiabn itu masih dapat
ditunda selama syarat wajibnya tidak akan hilang dari diri orang yang
diwajibkan untuk melakukan perbuatan itu. Seperti haji.
Hukum Wajib dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban hukum,
dibagi menjadi dua, yaitu:
a.
Wajib Aini,
yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap
orang yang sudah baligh berakal (mukallaf), tanpa kecuali. Misalnya, shalat
fardhu lima waktu.
Kaitannya dengan wajib ‘Ain, muncul
suatu pertanyaan di waktu tidak mampu melaksanakan sendiri atau telah meninggal
dunia, apakah bisa gugur kewajiban itu dengan dilaksanakan orang lain?. Ulama’
ushul fiqh membagi hal itu menjadi tiga kategori.
1.
Wajib yang berhubungan dengan harta, seperti kewajiban membayar zakat atau
kewajiban mengembalikan titipan orang lain kepada pemiliknya. Kewajiban seperti
ini disepakati pelaksanaanya bisa digantikan orang lain;
2.
kewajiban dalam bentuk ibadah Mahdhah, seperti Shalat dan Puasa. Kewajiban
seperti ini, disepakati tidak bisa digantikan oleh orang lain.; dan
3.
kewajiban yang mempnyai dua dimensi, yaitu dimensi ibadah fisik dan dimensi
harta. Dalam hal ini ulama’ berbeda pendapat. Ada yang berpendapat tidak sah
digantikan orang lain, dan yang lainnya yaitu mayoritas ulama’ berpendapat Haji
sah digantikan orang lain.
4.
Wajib kifayah yaitu perbuatan yang dapat dilaksanakan
secara kolektif.
Wajib
ditinjau dari segi Kuantitasnya
1.
Wajib Muhaddad yaitu kewajiban yang ditentukkan batas kadarnya
(jumlahnya).
2.
Wajib qhairu muhaddad yaitu kewajiban yang tidak ditentukkan batas kadarnya.
Wajib
ditinjau dari segi perintahnya
1.
Wajib mu’ayyan yaitu suatu kewajiban yang objeknya adalah tertentu tanpa ada
pilihan lain. Seperti membayar zakat.
2.
Wajib mukhayyar yaitu kewajiban yang objeknya dapat dipilih dari alternative
yang ada. Seperti, membayar kafarat, boleh dengan member makan sepuluh orang
miskin, atau memberi pakaian, atau memerdekakan budak.
2.
Nadb (Sunnah)
Nadb yaitu
tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa,
melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang untuk
meninggalkannya6. Orang yang meninggalkannya tidak dikenai hukuman.
Yang dituntut untuk dikerjakan itu disebut mandub, sedangkan akibat dari
tuntutan itu disebut nadb.
$yg•ƒr'¯»tƒšúïÏ%©!$#(#þqãZtB#uä#sŒÎ)LäêZtƒ#y‰s?Aûøïy‰Î#’n<Î)9@y_r&‘wK|¡•Bçnqç7çFò2$$sù
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermuamalah tidak secara tunai untik waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya….”. (Al-Baqarah: 282).
Sunnah
dapat dibagi menjadi beberapa macam
1. Sunnah
Mu’akkadah yaitu perbuatan tidak wajib yang selalu dikerjakan oleh Rasul.
Seperti, shalat sunnah qobliyah dan ba’diyah yang mengiringi shalat fardhu lima
waktu.
2.
Sunnah Ghairu Mu’akkadah yaitu segala perbuatan tidak wajib kadang-kadang
dikerjakan oleh rasul, kadang-kadang saja ditinggalkan. Seperti, puasa setiap
hari senin dan kamis.
3. Sunnah
al-Zawaid yaitu mengikuti kebiasaan sehari-hari Rasul sebagai manusia. Seperti,
cara makan, cara tidur, dan cara berpakaian rasul.
3.
Tahrim (melarang)
Tahrim
yaitu ayat atau hadits yang melarang secara pasti untuk tidak melakukan suatu
perbuatan. Atau dengan kata lain, Tahrim adalah antonim dari wajib. Dikerjakan
mendapat siksa/ berdosa sedangkan ditinggalkan mendapat pahala.
Misalnya
Allah SWT. berfirman :
Artinya : “ …..Janganlah kamu membunuh jiwa yang telah
diharamkan Allah…”.
(QS.Al-An’am
: 151)
6.
Prof.DR.H.Rachmat Syaf’i , Ilmu Ushul
Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia), hlm. 298
Dan dalam QS. Al-Maidah : 3
Artinya: “Diharamkan bagimu ( memakan) bangkai, darah, daging babi (daging) hewan
yang disembelih atas nama selain Allah”. (QS. Al-Maidah: 3).
Para ulama’
Ushul Fiqh antara lain Abdul Karim Zaidan, membagi haram kepada beberapa macam,
yaitu:
1.
Haram Li Dzatihi, yaitu sesuatu yang diharamkan oleh syariat karena esensinya mengandung kemudharatan bagi
kehidupan manusia, dan kemudharatan itu tidak dapat terpisah dari zatnya.
Misalnya, larangan meminum khamr.
2.
Haram Lighairihi, yaitu sesuatu yang dilarang bukan karena esensinya karena
secara esensial tidak mengandung kemudharaatan, namun dalam kondisi tertentu
sesuatu itu dilarang karena ada pertimbangan eksternal yang membawa pada
sesuatu yang dilarang secara esensial. Seperti, larangan berjual beli/
transaksi bisnis waktu adzan shalat jum’at.
4.
Karahah
Karahah yaitu
ayat atau hadits yang menganjurkan untuk meningalkan suatu perbuatan. Atau
dengan kata lain, Karahah adalah antonim dari Nadb. Tuntutan untuk meninggalkan
suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak
bersifat memaksa. Dan seseorang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk
ditinggalkan itu tidak dikenai hukuman.
Seperti
hadits Nabi:
Artinya: “ Dari Ibnu Umar ra. Dia berkata bahwa Nabi SAW. Melarang untuk membeli
suatu barang yang masih dalam tawaran orang lain daan melarang seseorang untuk
meminang seorang wanita yang ada dalam pinangan orang lain sampai mendapat izin
atau telah dirnggalkannya”. (HR. al-Bukhari)
Atau
hadist Nabi Muhammad SAW :
Artinya : “ Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak.”
Karahah (Makruh), macam-macamnya
yaitu:
1. Makruh
Tanzih ialah perbuatan yang terlarang bila ditinggalkan akan diberi pahala
tetapi bila dilakukan tidak berdosa dan tidak dikenakan siksa. Seperti memakan
daging kuda dan meminum susunya dikala sangat butuh diwaktu peperangan.
2. Makruh
Tahrim ialah perbuatan yang dilakukan namun dasar hukukmnya tidak pasti.
Seperti, larangan mengkhitbah wanita yang sedang dalam khitbahan orang lain.
5.
Ibahah
Ibahah
yaitu ayat atau hadits yang memberi pilihan seseorang untuk melakukan atau
meninggalkan suatu perbuatan. Atau
dengan kata lain, dikerjakan tidak mendapat apa-apa sedangkan ditinggalkan juga
tidak mendapat apa-apa disisi Allah.
Seperti firman Allah:
Artinya: “…..Apabila kamu telah selelsai melaksanakan ibadah haji, maka bolehlah
kamu berburu.” (QS. Al-Maidah: 2).
Pembagian mubah
menurut Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam kitabnya al-Muwafaqat membagi Mubah kepada
tiga macam, yaitu:
1.
Mubah yang berfungsi mengantarkan seseorang pada sesuatu hal yang wajib
dilakukan. Misalnya, makan dan minum merupakan suatu hal yang mubah, namun
berfungsi mengantarkan seseorang sampai ia mampu mengerjakan
kewajiban-kewajiban yang telah
dibebankan kepadanya. Seperti, shalat. Demikian Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam
menjelaskan, hanya dianggap mubah dalam hal memilih makanan halal mana yang
akan dimakan. Akan tetapi seseorang tidak diberi kebebasan untuk memilih antara
makan atau tidak, karena meninggalkan makan samasekali dalam hal ini akan
membahayakan dirinya.
2.
Sesuatu baru dianggap Mubah hukumnya bilamana dilakukan sekali-kali, tetapi
haram hukumnya bila dilakukan setiap waktu. Seperti, bermain atau mendengarkan
nyanyian hukumnya adalah mubah bila dilakukan sekali-kali, tetapi haram
hukumnya menghabiskan waktu hanya untuk bermain atau mendengarkan nyanyian.
3.
Sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang
mubah pula. Mislanya, membeli perabot rumah tangga hanya untuk kepentingan
kesenangan (tersier).
Pada dasarnya, pembagian mubah didasarkan atas
pertimbangan sejauhmana keterkaitannya dengan kemudharatan atau kemanfaatannya.
Sehingga dua pertimbangan tersebut menyebabkan implikasi hukum mubah pada hukum
lain.
Demikian macam-macam hukum
Taklifi serta pembagiannya menurut mayoritas Fuqahah’.
BAB III
KESIMPULAN
Hukum Taklifi adalah firman Allah yang
menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara
berbuat dan meninggalkan. Hukum Taklifi
adalah ketentuan Allah yang bersifat perintah, larangan atau pilihan antara
perintah dan larangan. Hukum Taklifi dalam berbagai macamnya selalu berada
dalam batas kemampuan seorang mukallaf, yang merupakan aktifitas manusia. Hukum
taklifi erat kaitannya dengan maqaashid syariah yang lima. Yaitu, wajib,
sunnah, mubah, makruh dan haram. Masing-masing dari kelima tersebut memiliki
pembagian ditinjau dari beberapa segi oleh beberapa imam.
Daftar Pustaka
H.Satria
Efendi, M.Zein. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana
Rachmat Syaf’I.
2009. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : CVPustaka Setia 2009
Chairul Uman.
1998. Ushul Fiqh 1. Bandung: CV Pustaka Setia 1998
Tidak ada komentar:
Posting Komentar