Selasa, 20 November 2018

makalah hakim dan hukum



AL HAKIM DAN AL HUKMU

BAB I
PENDAHULUAN

Alhamdulilah Segala Puji bagi Allah SWT. yang senentiasa telah memberikan rahmatnya bagi kita semua, Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW. dan kepada seluruh keluarga dan sahabatnya.
Hukum merupakan salah satu unsur yang tidak akan pernah terlepas dari syari’at islam, dengan adanya hukum, kita dapat mengetahui bagaimana kita dapat menjalankan syari’at islam yang telah dibawa oleh sang Syari’, baginda nabi Muhammad SAW. Yakni menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT. dan menjauhi apa yang telah dilarangnya.
Begitu pula dengan Hakim, hukum tidak akan pernah ada bila tidak ada yang pernah mengeluarkan hukum tersebut, oleh karenanya kita akan membahas tentang apa pengertian dari keduanya yang meliputi beberapa hal berikut:
1.      Pengertian hukum
2.      Macam-macam hukum
a.       Hukum Taklify
b.      Hukum Wadl’iy
3.      Al-Hakim
a.       Pengertian Al-Hakim
b.      Status Al-Hakim dalam Hukum Islam




BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Hukum
Pengertian hukum secara etimologi (bahasa) dapat bermakna Putusan, ketetapan, dan kekuasaan. Namun pengertian hukum secara terminologi (istilah) dapat diartikan sebagai berikut:
الحكم فى اصطلاح علماء الفقه خطاب الله المتعلق بأفعال المكلفين طلبا أو تخييرا أو وضعا[1]
Dapat dipahami bahwa Hukum (al-hukm) adalah Khitab (kalam) Allah SWT. yang berkaitan dengan semua perbuatan mukallaf, baik berupa Tholb (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau meninggalkan), takhyir (memilih antara melakukan dan tidak melakukan), atau wadh’i (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang/m ā ni’). Sedangkan yang dimaksud dengan khitob ialah:
ما يشمل الكتاب الكريم وما يدل الكتاب الكريم على اعتباره: من سنة, أو قياس أو رعاية مصلحة[2]
Khithabullah adalah semua bentuk dalil-dalil hukum, mengingat ia merupakan bagian dari Sunnah, Ijma’,Qiyas dan penjagaan kemashlahatan. Namun Abdul Wahab Khalaf berpendapat bahwa yang dimaksud dengan dalil hanya Al-Quran dan Sunnah, adapun ijma’ dan qiyas sebagai metode menyingkapkan hukum dari Al-Quran dan sunnah, Demikian pula dengan ijma’ harus mempunyai sandaran kepada al-Quran dan sunnah. Al-Quran dianggap sebagai kalam Allah secara langsung, dan sunnah sebagai kalam Allah secara tidak langsung karena Rasulullah SAW. tidak mengucapkan sesuatu dibidang hukum kecuali berdasarkan wahyu, sesuai firman Allah:
  
3. dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
4. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).


2.      Macam-macam Hukum
a. Hukum Taklify
Hukum taklify terbagi menjadi dua, yakni yang berupa penututan (Al-Iqtidlo’/Al-tholb)atau yang berupa kebebasan memilih (takhyiir). Yang di maksud dengan Al-Iqtidlo’/Al-tholb ialah penuntutan harus atau tidak harus dilakukan atau ditiggalkannya suatu pekerjaan. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa Iqtidlo’ terbagi menjadi empat bagian yakni Wajib, Nadb, Haram, dan Makruh. Namun hukum – hukum tersebut masih dapat terbagi-bagi yang perinciannya adalah sebagai berikut:
1)      penuntutan harus dilakukannya suatu pekerjaan (wajib). Seorang mukallaf akan mendapat pahala bila melakukannya dan mendapat dosa bila meninggalkannya. Wajib terbagi menjadi dua yakni ‘Ainy (wajib secara individual) dan Kifa’iy (dapat dicukupkan/diwakili oleh orang lain). Seperti contoh hukum wajib menjawab salam bagi orang yang pertama, maksudnya, orang tersebut tebebani hukum wajib ‘Ainy karena belum ada yang menjawab sebelumnya selain orang tersebut, berbeda dengan orang kedua dan ketiga, mereka terbebani hukum wajib kifa’iy karena telah tercukupi atau terwakili oleh orang yang pertama.[3]
2)      Penuntutan berupa penganjuran dilakukannya suatu pekerjaan (Nadb) ini disebut juga sabagai Sunnah, Mustahab, Tathowwu’, Hasan, Nafl dan Muroghghob Fiih. Mukallaf akan mendapat pahala bila melakukannya dan tidak akan mendapat dosa bila meninggalkannaya. Nadb juga terbagi menjadi dua yaitu ‘Ainy dan Kifa’iy. Seperti hukum bagi orang yang menguluk salam, bagi orang pertama yang menguluk salam hukumnya sunnah ‘Ainy karena sebelumnya belum ada seorangpun yang menguluk salam selain dirinya, bagi orang kedua dan ketiga hukumnya Sunnah Kifa’iy karena telah tercukupi/terwakili oleh orang yang pertama.[4]
3)      Penuntutan harus ditinggalkannya suatu pekerjaan (haram). Seorang mukallaf akan mendapat pahala bila meninggalkannya dan akan mendapat dosa bila mengerjakannya, seperti perbuatan zina.
4)      Penuntutan berupa penganjuran ditinggalkannya suatu pekerjaan (Makruh). Seorang mukallaf akan mendapat pahala bila meninggalkannya dan tidak dibebankan dosa bila mengerjakannya. Seperti orang yang sholat dengan tolah-toleh.
Perlu diketahui bahwa makruh terbagi menjadi dua yaitu Makruh Tanzih dan Tahrim, dan contoh diatas merupakan contoh makruh tanzih. Sedangkan penuntutan yang berupa anjuran untuk meninggalkan suatu pekerjaan yang pengambilan hukumnya melalui dalil ta’wil disebut sebagai Khilaf Al-Aula, seperti meninggalkan sholat dhuha misalnya. Perbedaan antara makruh Tanzih, Makruh Tahrim dan Harom ialah, pengambilan hukum Makruh Tanzih melalui dalil Qoth’iy yang terdapat Qorinah bahwa pekerjaan tersebut boleh ditinggalkan., berbeda dengan Makruh Tahrim yang pengambilan hukumnya melalui dalil yang mengandung kemungkinan ta’wil, dan tidak ada qorinah yang menunjukkan pekerjaan tersebut boleh ditinggalkan sehingga yang mengerjakannyapun mendapat dosa. Sedangkan Pengambilan hukum Haram melalui dalil Qoth’iy yang tidak menagndung ta’wil.[5]
Yang dimaksud dengan Al-Takhyiir yaitu kebebasan memilih bagi seorang mukallaf antara mengerjakan sesuatu ataupun meninggalkannya, sehigga dapat diartikan bahwa sang syari’ t idak pernah membebankan kepada seorang mukallaf untuk mengerjakan sesuatu dan juga tidak mencegahnya untuk melakukan pekerjaan tersebut. Sebagai contoh dalam surat al-baqoroh yang menerangkan tentang batas-batas bagi seseorang yang berpuasa untuk makan dan minum:
وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ... الآية.[6]
dari ayat ini dapat kita fahami bahwa seseorang yang berpuasa boleh makan ataupun minum dengan batas-batas yang telah disebutkan.
b. Al-wadh’i
yang dimaksud dengan Al-wadh’i yaitu menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penjegah bagi hal yang lain. Lebih jelasnya Hukum scara wadh’i tidaklah membahas tentang pembebanan sesuatu terhadap seorang mukallaf, namun disini lebih menekankan pada ikatan syar’i antara dua hal, yakni penyebab dengan apa yang disebabkan, syarat dan yang disyaratkan kemudian pencegah dan yang dicegah. Seperti perintah untuk memotong tangan para pencuri dan hukum warisan misalnya, perbuatan mencuri dan adanya hubungan keturunan merupakan sebab agar dipotongnya tangan dan waris-mewaris, seperti yang tertera dalam ayat – ayat berikut ini:
والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما ... الآية
يوصيكم الله فى أولادكم للذكر مثل حظ الأنثيين ... الآية
Kemudian untuk contoh yang kedua ialah, Syahadah merupakan syarat bagi sahnya nikah, dan kemampuan juga merupakan syarat bagi wajibnya haji. Sedangkan pembunuhan dan gila merupakan pecegah (maani’) terhadap adanya waris-mewaris bagi sang pembunuh dan pembebanan hukum bagi orang yang gila.
3.      Al-Hakim
a.      Pengetian Al-Hakim
Secara Etimologi, al-hakim berarti Pembuat hukum, yang menetapkan, dan yang memunculkan sumber hukum. Sedangkan menurut terminologi berarti pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang yang wajib diikuti oleh setiap mukallaf. Diantara kaum muslimin tidak ada perbedaan pendapat bahwa sumber hukum syara’ bagi perbuatan mukallaf adalah Allah SWT. Dan dari pemahamn inilah para ahli ushul bersepakat membuat sebuah teori yaitu
لا حكم إلا الله
Tiada hukum kecuali yang bersumber dari allah.[7]
Adapun yang menjadi dasar atas munculnya teori tersebut adalah firman-firman Allah SWT. diantaranya ialah surat al-Maidah ayat 44, 45, 49 dan surat Al-An’am ayat 57:
"barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir".

"barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim".

"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah",

"... menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. dia menerangkan yang Sebenarnya dan dia pemberi Keputusan yang paling baik".
b.      Status Al-Hakim dalam Hukum Islam
Terjadi perbedaan tentang status hakim diantara para ahli ushul, hal ini disebabkan adanya dua keadaan, yang pertama Hakim sebelum Nabi Muhammad SAW. Terutus sebagai rasul. Yang menjadi persoalan dikalangan para ahli ushul dalam kaitannya dengan masalah ini ialah, siapa yang menemukan dan memperkenalkan serta yang memperjelas hukum?. Persoalan ini ditanggapi berbeda-beda, yaitu:
1)      Menurut Ahli al-sunnah wa al-jama’ah berpendapat bahwa pada masa Nabi Muhammad SAW.terutus sebagai rasul, tidak ada hakim dan tidak ada pula hukum syara’, sementara itu akal pikiran manusia tidak memiliki kemampuan menemukannya, sebab akal hanya mampu menetapkan baik-buruk melalui perantara al-qur’an dan rasul, sebabab allah berfirman dalam surat al-Israa':15
... وما كنا معذبين حتى يبعث رسولا[8]
Oleh karena itu, Allah-lah yang menjadi hakim, sedang yang menjelaskan hukum – hukum yang berasal dari hakim adalah syara’, padahal syara’ saat ini belum ada. Karena itu Allah mengutus rasul-Nya untuk menyampaikan ketetapan hukum – hukum-Nya, sebab Allah
berfirman :
... لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ ...[9]
... Agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah iutusnya rasul-rasul ...
2)      Menurut kelompok Mu’taziliyyin berpendapat bahwa yang menjadi hakim pada saat itu adalah Allah SWT. hanya saja akal sudah memiliki kemampuan untuk menentukan hukum – hukum Allah, bahkan akal mampu untuk menjelaskannya.
Dari persoalan yang serumit itu, para ahli ushul menyebutnya dengan menggunakan istilah “At-Tahsin wa At-Taqbih” dalam hubungannya dengan masalah sejauh mana kemampuan akal pikiran manusia akal pikiran manusia dalam menemukan hukum.
-          At-Tahsin (التحسين), yaitu:
التحسين هو خطاب الله الطالب للفعل أو المخيَّر بين الفعل أو الترك[10]
Firman Allah yang menunut supaya dikerjakan atau dipilih antara dikerjakan dan ditinggalkan.
Jadi At-Tahsin merupakan semua perilaku perbuatan yang dianggap sesuai dengan watak kemanusiaan, seperti rasa manis, menolong orang yang sedang celaka dan sebagainya.
-          At-Taqbih (التقبيح), yaitu:
التقبيح هو خطاب الله الطالب للترك[11]
Firman Allah yang menuntut sesuatu untuk ditinggalkan.
Jadi At-Taqbih adalah semua perilaku perbuatan yang tidak sesuai dengan watak kemanusiaan, seperti menyakiti orang lain, mencuri dan sebagainya.
Sedangkan masa yang kedua yakni masa setelah Nabi Muhammad SAW. menjadi rasul. Dalam menaggapi masalah ini, para ahli ushul bersepakat untuk menyatakan bahwa Hakim adalah syari’ah yang diturunkan oleh Allah melalui rasul-Nya, Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, segala sesuatu yang hukumnya telah dihalalkan oleh Allah adalah halal dan segala sesuatu yang telah diharamkan Allah adalah haram.



BAB III
KESIMPULAN
A.    Hukum
Dapat disimpulkan bahwa pengertian hukum secara singakat adalah kalam - kalam Allah yang berkaitan dengan segala perbuatan orang mukallaf, baik berupa penuntutan, kebebasan memilih atau atau dari sudut pandang penyebab, syarat dan penghalang.
Hukum terbagi menjadi dua, pertama Taklify, yang secara garis besar terdiri dari Wajib, Nadb, Haram, Makruh dan Mubah. Sedangkan Wadh’iy, yang menekankan pada sudut pandang lain yakni sebuah ikatan syar’i antara dua hal, yakni antara syarat dan yang disyartkan, sebab dan yang disebabkan, serta pencegah dan yang dicegah.
B.     Hakim
Singkatnya, hakim merupakan sumber hukum satu-satunya dan wajib diikuti oleh setiap mukallaf, dan kaum muslimin bersepakat bahwa yang menjadi sumber hukum – hukum tersebut adalah Allah SWT. sedangkan perbedaan yang terjadi hanya terbatas pada status hakim atau yang memperjelas hukum dalam dua keadaan, yakni sebelum dan setelah terutusnya Nabi Muhammad SAW. Sehingga dari persoalan tentang perbedaan pendapat antara Alissunnah dan Mu’taziliyyin para ahli ushul membuat sebutan At-tahsin dan At-taqbih. At-Tahsin adalah segala sesuatu yang telah dihalalkan oleh Allah dan didalamnya terdapat kemashlahatan bagi kelangsungan hidup manusia. Sedang At-Taqbih adalah segala sesuatu yang telah diharamkan oleh Allah dan didalamnya terdapat kemadlaratan atau kerusakan bagi kelangsungan hidup manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Hasbullah, ‘Aly. Ushul Al-Tasyri’ al-islamy, Dar al-fikr, tth
Hamid, Abdul. Syarh Lathoif al-isyarat, al-haraomain, tth
al-‘imrithi, Syarifuddin. Taqrirat Nadzmu al-waroqot, tth






1 Ushul al-tasyri’ al-islamy, ‘aly hasbullah, dar al-fikr
[2] Ushul al-tasyri’ al-islamy, ‘aly hasbullah, dar al-fikr
[3] Syarh Lathoif al-isyarat, as-syaikh abdul hamid, al-haraomain
[4] Syarh Lathoif al-isyarat, as-syaikh abdul hamid, al-haraomain
[5] Taqrirat Nadzmu al-waroqot, Syarifuddin al-‘imrithi
[6] Al-Qur’an, Surat Al-baqoroh:187
[7] Wahbah, Ushul ..., Ibid
[8] Al-qur’an, surat Al-isra’:15
[9] Al-qur’an, surat An-nisaa’: 165
[10] Wahbah, Ushul ...., Op-Cit, Juz I hal:116
[11] Wahbah, Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar